Blog Mom Pembelajar

Cerpen: Pencarian Ari

Posting Komentar

 PENCARIAN ARI

Oleh : Asih Drajad Lumintu

www.mompembelajar.com

"Kreek.. "

Gadis belia berwajah oval dengan lesung pipit di sebelah kanan itu, reflek menyibak gorden jendela di samping kiri ranjangnya. 

"Hmm, masih gelap di luar sana. Jam berapa sekarang?, " batinnya bertanya, saat dirinya tiba-tiba, terbangun dari tidurnya. 

Ia adalah Putri Adhya Utari, atau biasa dipanggil Ari. Nyaris sepekan terakhir setelah peristiwa di tempat pemakaman kampungnya, tempo hari, ia kerap terbangun lebih awal dari biasanya. Seperti kali ini, ia terbangun setelah mimpi yang berulang seperti mimpinya kemarin. Dalam mimpinya, ia melewati ruang-ruang kosong di rumah besar. 

Ia berjalan sendirian ditemani sunyi sepanjang lorong ruangnya. Hingga akhirnya terbangun, setelah seberkas cahaya menerobos salah satu jendela ruang itu. 

"Ah, cahaya... "

Apakah itu perasaan bawah sadarnya yang terangkat dalam misteri mimpi. Kesunyian yang menampar hari-harinya Terlebih setelah kejadian di dekat nisan ayahnya seolah-olah terus menyisakan beberapa pertanyaan besar yang berulang terucap dalam monolog dirinya. 

 "Jika kuburan itu bukan nisan ayahku, lalu di manakah nisan ayahku? Apakah ayahku masih hidup? Lalu mengapa ibuku merahasiakan hal itu kepadaku?"

Pertanyaan berkelindan, yang berujung kebuntuan. Namun, ia masih belum berani menanyakan langsung perihal itu kepada ibunya. Setengah mengantuk, diraihnya gawai di meja belajarnya. Tertera 3.15 pagi. 

"Uaap.. ". Tangan kanannya spontan menutup mulutnya yang beberapa kali menguap. Udara malam sehabis hujan yang masuk lewat ventilasi, menyisakan dingin di kamarnya. Ari menurunkan lengan panjang baju tidurnya. 

Saat ia hendak menarik kembali selimut tidurnya, terdengar bunyi

"Meong.. meong.. ". Si Pirang kucing setianya yang berwarna campuran cokelat dan kuning, mengibas-ngibaskan ekornya seolah menyapa Ari, tuannya. 

"Duh Rang.. aku tuh sebenarnya masih ngantuk..! . Kamu tidur aja lagi ya..!. "  

Sambil menepuk kepala Pirang, akhirnya Ari beringsut turun dari ranjang, dan menyudahi tidur malamnya itu. Ia Berjingkat pelan keluar kamar, tak mau membangunkan Pirang yang mulai menutup matanya, dan melingkar kembali di bawah kursi dekat ranjang kamar. 

Setengah terpejam, Ari melangkah gontai menuju ruang belakang. Suara khas blender menggiling kacang, terdengar di telinganya. Benar saja, ibunya seperti biasa sudah sibuk menyiapkan dagangan nasi uduk yang akan dibawanya ke pasar, dekat rumah. Aroma sambal tomat dan bawang merah goreng menggelitik hidung Ari.

"Haitsin..! hatsiin..Alhamdulillah..!. "

Rasa kantuk Ari seketika menghilang bersama bersin kerasnya yang berulang. Disambarnya handuk kecil di jemuran. Segera ia masuk kamar mandi, dan  berwudu. 

Tepat pukul 04.10 seperti biasanya, Ari dan ibunya menghidupkan sisa malam. Khusyuk mereka munajat di gelaran sajadah ruang depan. Sayup terdengar lantunan Ari menuntaskan satu juz  bacaan Alqurannya. Ia kerap membayangkan rumahnya yang bercahaya akan ditengok oleh para malaikat di atas langit. 

 "Sebagaimana penghuni bumi memandang bintang di langit, maka rumah-rumah penduduk bumi yang dibacakan Alquran, ibarat gemerlap bintang bagi penghuni langit."

Harapan dan impian merekalah berdua pun membubung tinggi. Mengetuk pintu langit dalam hening malam di kampung Subur Maju

*

Ari masih termenung di atas sajadah selepas salat Subuh berjemaah. Sedang bu Tika, demikian orang kampung memanggil ibunya, sudah  di dapur lagi, membereskan nasi uduk jualannya. 

Kejadian sepekan lalu, saat ia nyekar, membersihkan makam ayahnya di ujung kampung sepulang sekolah kembali membayang di benak Ari. 

"Itu siapanya adik?", pertanyaan keheranan mengagetkan Ari yang tengah menyiramkan sebotol air di atas  nisan ayahnya. 

Dipandanginya perempuan paruh baya bergamis hitam dengan selendang putih yang menutupi lurus rambutnya. 

"Ayahku..,” jawab Ari singkat. Melanjutkan memandangi gundukan tanah basah bekas air percikan air tadi. Memasuki bulan Muharam, suasana perkuburan siang hari cukup ramai. Banyak orang lalu lalang berziarah. Anak-anak yang rumahnya dekat kuburan, bahkan seakan menjadikan kuburan sebagai tempat bermainnya. 

"Hmm.., maafkan. Mungkin adik salah..," lanjutnya.

"Memang nisan ini tidak bernama. Tapi yakinlah, jasad yang ada di bawahnya adalah jasad ibuku yang meninggal dua puluh tahun yang lalu." Perempuan itu menatap lurus ke depan, menarik napas dan berdesah, 

"Aku terpaksa jarang menziarahinya, lantaran tinggal di kampung seberang. Kesibukanku membuatku lalai.. ", sesalnya dengan suara bergetar pelan. Namun lirih suara perempuan itu, bagi Ari laksana palu godam yang menghantam  jantungnya. Wajah Ari berubah pucat pasi. Rasa terkejut  heran, marah, malu dan gusar berbaur, tak mampu ia sembunyikan. 

"Oh maafkan kalo begitu..!. "

Hanya itu kalimat yang mampu terucap dari mulut Ari, saat pamit meninggalkan perempuan paruh baya, yang masih mencabuti rumput liar di sekitaran nisan itu. Ari menguatkan hatinya yang tercabik mendengar perihal rahasia nisan yang diklaim ibunya sebagai kuburan ayahnya selama ini. 

*

Jam di ruang tengah berdentang enam kali. Ari kaget. Rupanya tadi ia tertidur di sajadah.Dilipatnya mukena dongkernya.

Bu Tika sudah berangkat ke pasar bersama Mak Ijah, penjual aneka kripik, tetangga rumahnya.  Bergegas Ari menyiapkan peralatan sekolah, lalu menyantap sepiring nasi uduk yang tersaji di meja ruang tengahnya. Sekejap kemudian, ia sudah mengelus perutnya kekenyangan. 

" Ibu.., ibu..! .Aku sayang padamu..!. Di sunyi pagi, Ari hanya bisa membisik nama ibunya.

Pirang datang mengeong dari arah kamar membuyarkan lamunan Ari tentang ibunya. 

"Pirang, kamu makan yang banyak ya..!, " Dielusnya bulu tebal kucing kesayangannya. 

"Meong.. Meong.. " Ekor Pirang bergoyang gembira disayang tuan putrinya. Ari pun bersiap ke sekolah

*

Bel masuk sekolah belum berbunyi saat Ari memasuki pelataran sekolahnya, SMA Teladanku. 

" Masih ada waktu 15 menit. Aku mesti bertemu Lela..!"

Ari melewati dua kelas dari pintu masuk sebelum sampai di kelas Lela, sahabat sekaligus tetangga dekat rumahnya. Usia Lela  terpaut tiga tahun lebih tua dari Ari yang bulan Juli lalu, merayakan milad HUT ke-18. Lela lambat sekolah, lantaran ibunya meninggal sewaktu ia SMP.  

Bagi Ari, Lela ibarat kakaknya. Sosok ceria berbalut kesabaran ini, mampu melunakkan kerasnya hati Ari yang pendiam, dan tertutup. Hanya kepada Lela Ari nyaman berbagi cerita. 

Riuh rendah suara siswa di kelas Lela membuat panggilan Ari tidak terdengar. Beruntung, seorang siswa lelaki yang posisinya dekat Lela kenal dengan Ari, dan menyenggol Lela. 

" Tuh Ari teman lo datang..!. Jarinya menunjuk ke arah Ari yang berdiri di pintu kelas Lela. 

"Hei tunggu bentar.."

Lela menggeser kursi yang menghalanginya.

"Yup, ada apa Ri..? ".

Dipandangi wajah Ari yang kusut. Lela paham, biasanya ada sesuatu yang ingin diceritakan sahabatnya. 

"Tolong aku Lela. Ibuku ternyata selama ini berbohong padaku. Ia.."

Ari menggantung kalimatnya, dan menutup  wajahnya dengan tisue, menyapu tetes bening di ujung matanya yang mendadak keluar. 

Bel masuk kelas  berbunyi. Lela merangkul sahabatnya.

"Ok.., nanti kita ketemu di kantin pas istirahat pertama ya? "

Ari cuma mengangguk, dan berlari menuju kelasnya, 12 IPA 3 , tepat di seberang kelas Lela.

Ari gusar selama jam pelajaran pertama berlangsung. Penjelasan bu Desty, guru Biologi tentang bagaimana DNA mempengaruhi pewarisan sifat genetik manusia, dan segala yang terkait dengannya lewat begitu saja di telinga Ari. 

"Hmm, nanti aku belajar lagi di rumah..., " janjinya. Mira teman sebangkunya hanya menggeleng melihat kelakuan Ari hari itu. 

" Maafkan Mira, aku nggak bisa cerita sama kamu.., " bisik hati Ari. 

"Teeett.. Teet.. ".

Bel istirahat pertama berbunyi. Ari pamit, berlari meninggalkan Mira yang masih berkutat  membolak-balik buku cetak Biologinya. 

Lela sudah menunggu di kantin. Namun, ia malah mengajak Ari duduk dekat kursi di samping ruang pustaka yang  lebih sunyi.

" Nah, di sini lebih aman dan nyaman.. Kamu bisa puas cerita, tanpa diganggu..!, jelas Lela tanpa diminta.

"Ya La, ibuku ternyata selama ini berbohong padaku. Kuburan yang diklam makam ayahku ternyata nisan orang lain. 

Panjang lebar Ari menjelaskan kejadian di perkuburan itu. 

Lela mengangguk-angguk mendengarkannya keluh kesah sahabatnya. 

Setelah Ari puas, tidak ada lagi yang ingin diceritakannya, Lela menepuk bahu Ari. 

"Ri, aku sahabatmu.Sebaiknya kamu bicara baik-baik hal ini ke ibumu, supaya  selesai. Aku siap membantu, jika kamu memang mau mencari ayahmu. Tapi janji, jangan pernah menyakiti ibumu. Terimalah kenyataan ini. Kamu Ari, insyaAllah kuat. Keep smile..! "

Rengkuhan Lala, menghapus sebagian risau hati Ari beberapa hari ini.

"Yaa, aku mesti bicara sama ibu.. "

Mata Ari berbinar menatap Lela. 

" Ri.. , kamu tahu. Kalo ujian anak SD kelas satu itu, berbeda dengan kelas di atasnya. Tanda kamu naik kelas ujian kehidupan, saat kamu yakin, yes kamu memang laik naik kelas..! "

Bel masuk kelas berbunyi. Suaranya menguatkan nyali Ari. 

Yup, aku harus naik kelas ujian kehidupan.. "

*

Sebelum azan Asar berkumandang, bu Tika sudah tiba di rumahnya. Guratan kelelahan kentara dengan tetes peluh di keningnya. Namun, tetap tidak menghapus wajah manis perempuan berkulit sawo matang itu. 

Sambil berselonjor di lantai, diurutnya telapak kakinya dengan minyak herbal ajaib. Rasanya belum puas, jika kakinya belum dibaluri minyak itu sepulang berjualan. 

Ari sigap mengambilkan segelas air putih hangat buat ibunya. Dipijatnya punggung ibunya perlahan. 

"Terimakasih, Ri sayang. ". Lembut dipegangnya tangan anaknya. 

"Oya ibu bawa kripik singkong pedas titipan mak Ijah. Katanya, kamu suka. Ibu letakkan tadi di toples krupuk di dapur. Jangan lupa dimakan ya...! "

Ari cuma mengangguk. Ia tengah berpikir, mencari jalan masuk bicara ke ibunya terkait rahasia ayahnya, dan nisan yang diklam sebagai kuburannya. 

Lekat dipandangi ibunya yang masih menggosok-gosok betisnya dengan minyak herbal ajaib. 

Hertika Ratna Ayu, nama lengkap bu Tika. Seorang janda berusia empat puluh lima tahun. Perempuan tertutup, yang tidak banyak bicara. Ia pendatang di kampung Subur Maju. Tidak banyak tetangganya yang tahu pasti, asal daerahnya. Bahkan keluarga Lela, hanya tahu Ari adalah anaknya. Dan ada seorang lelaki tua yang dipanggil Pakde Seno oleh Ari, sesekali dalam setahun berkunjung ke rumah itu. Adapun suami bu Tika, kabarnya wafat dua tahun setelah kelahiran Ari. 

Ari sendiri cuma dapat cerita ibunya, tentang kasih sayang ayahnya sewaktu kecil. Ayah rela cuti sebulan dari kerja, setelah kelahirannya. Bu Tika juga bilang, bentuk dan warna mata Ari mirip dengan ayahnya, pak Broto, demikian nama yang tertulis di ijazah sekolah Ari. 

Selain itu tidak ada keterangan lain yang diketahui Ari. Dulu saat Ari bertanya di mana letak kubur ayahnya, ibunya mengajak Ari ke pemakaman kampung. 

Pikiran Ari masih berputar mencari kalimat yang tepat buat mengungkapkan pertanyaan ke ibunya. 

"Ah.., buntu..!, " keluh hatinya kesal. 

Ia berjalan ke dapur mengambil kripik singkong pedas Mak Ijah. Menepis kegalauannya, dan mengumpulkan keberaniannya. Pirang mengikuti ke mana tuannya pergi. 

"Rang, kamu mau juga kripik Mak Ijah? "

"Meong.. Meong..! " Pirang menempelkan kepalanya mendekati kaki Ari. 

"Hii hii.. Pirang, mau juga tuh..! "

Kriuk.. Kriuk..! Wuah.. Wuah.. ". Mulut Ari kepedasan

Ari semakin gelisah dengan keingintahuannya. 

"Duh aku harus berani bertanya ke ibu, kalo mau masalah ini selesai, " gerutunya kesal. 

Ari pasrah mengikuti jerit hatinya. Pelan ia memanggil ibunya, 

"Bu.., Ari mau tanya..". Matanya menunduk di hadapan ibunya. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ari mengigit bibirnya. 

" Maaf bu, kalo Ari lancang menanyakan kembali perihal ayah. Apa benar ayah Ari sudah wafat?"

Ari lega, plong rasanya saat ucapan itu bisa keluar dari mulutnya. 

Namun sebaliknya, wajah ibunya seketika menegang. 

"Kenapa kau tanyakan hal itu lagi, Ri..?" Geleng ibunya tersenyum pahit menahan kecewa. Ibunya terdiam mencoba menepis bayangan wujud lelaki yang tiba-tiba hadir di benaknya. 

"Ayahmu, sudah meninggal, saat kau masih kecil, Ri.." 

Akhirnya terucap kalimat itu lagi. Intonasi suaranya terdengar datar. Bu Tika membuang muka dari tatapan lekat anaknya. Dari gaya bicaranya, Ari bisa menebak kalau ibunya tidak yakin sepenuhnya dengan ucapannya sendiri. 

"Lalu.., benarkah nisan yang ibu tunjukkan kepadaku itu, kuburan ayah? ", lantang Ari mencecar jawaban ibunya. Rona wajah bu Tika seketika berubah. Keningnya berkerut , 

" Maksudmu apa  Ri..! 

 Ibu nggak ngerti..?".

Suara bu Tika mulai meninggi. 

Ari melengos, dan bergumam, 

"Ibu bohong sama Ari..! . Itu bukan kuburan ayah. ".

Reflek bu Tika mengguncang tubuh Ari. 

"Ibu bohong katamu? ".Pandangan bu Tika tajam, menahan emosi. 

Ari menghindar, berlari menangis masuk ke kamarnya. Ia tak mampu lagi menahan gejolak hatinya. Mengunci kamar, dan terisak di bawah bantal. 

Bu Tika tergugu, " Arii.. !

*

Ari terlelap lelah. 

Ia belum keluar kamar hingga malam hari. Kini perutnya mulai terasa perih. Ari baru ingat kalau ia belum makan malam. Tadi saat ibunya mengetuk pintu kamarnya mengajak makan, ia bergeming. Tak hendak membuka pintu.

"Ah ibu, maafkan Ari ..Bukan maksud Ari membuatmu sedih..," sesal hatinya. 

Berjingkat  Ari mengintip kondisi luar dari lubang pintu kamarnya. Lampu ruang tengah sudah dimatikan ibunya. Jam menunjukkan pukul 22.00. Biasanya ibunya sudah istirahat di kamarnya. Bukankah menjelang subuh ia sudah harus berkemas mempersiapkan jualannya ke pasar?. 

Akhirnya Ari mengalah. Bunyi keroncongan perut memaksanya keluar kamar, mencari sesuatu yang bisa disantapnya.

Dibukanya tudung saji di meja ruang makan. 

" Hmm ada soto  Lamongan kesukaanku, " sorak hatinya. 

Bau khas taburan koya udang menggelitik perutnya. 

"Pirang aku makan dulu ya.. ", seru Ari ke kucing blasteran Angora yang membuntutinya.

"Meong.. meong..." Pirang berguling senang di sekitar kaki Ari. 

Sekejap semangkok soto tandas dilahapnya. 

Selepas makan Ari membuka lemari buku di ruang tengah. Ia berniat mencari dokumen akte kelahirannya. Siapa tahu, bisa menjadi petunjuk awal pertanyaan tentang ayahnya yang dirahasiakan ibunya selama ini.

Ari menariknya map merah tempat penyimpanan dokumen keluarga yang terletak di tengah tumpukan map lainnya. 

"Sret.!." 

Selembar foto kusam terjatuh bersama tarikan map itu. 

Ari mengambilnya dengan berdebar.

Foto ibunya sewaktu muda tengah menggendong bayi perempuan dengan topi merah berpita lebar. 

"Itu pasti aku., " tebak Ari yakin. 

Di sampingnya seorang lelaki berperawakan tinggi tegap, tersenyum lebar. 

"Ayah...!". Tanpa sadar, Ari menyapu foto lelaki itu dengan jarinya. 

"Ibu benar. Mata lelaki itu mirip mataku.., " lonjak Ari senang.

Ari membalik foto itu. Ada tulisan tangan ibunya, 

"Ulang Tahun ke 1, anakku sayang"

Ari menyeka tetes bening di ujung matanya. 

"Oh..ayah..!."

Getaran aneh berdetak di hatinya. 

"Huu huu.., apakah ini rasa kangen?, isak Ari takjub dengan rasa yang menyelusup di bilik jiwanya. 

"Aah, kenapa foto ini tidak pernah ibu tunjukkan padaku..? "

Segera Ari mengambil gawainya. Mendokumentasikan penemuannya di malam itu. Besok akan kutanyakan ke Pakde Seno. 

"Benarkah nisan itu kuburan ayahku..?

Kenapa ibu seolah menyembunyikan sesuatu ? "

Rasa kantuk yang bergayut, mengajak Ari kembali ke kamar tidurnya. Pirang mengiringi kepergian tuannya di belakang. 

"Meong.. Meong.. !"

*

Rumah tingkat berpagar hitam, dengan atap sirap ornamen kuno di pinggir timur kota akhirnya berhasil ditemukan Putri Adha Utari. Gadis manis berkulit sawo matang itu tersenyum puas. Persis seperti foto yang diberikan Pakde Seno kemarin

Sudah hampir setengah hari, Ari dan Lela berkeliling buat menemukan rumah itu. Segera dirogohnya saku besar rok denimnya. 

Dicocokkannya rumah di hadapan dengan selembar foto lusuh di tangan kanannya. 

"Hm persis,"bisik Ari. Cat yang memolesi pagar rumah itu, mulai mengelupas di sana sini. 

"Yuk kita masuk, La!" Ari menarik Lela yang masih terkesima dengan penemuan rumah ini. Pencarian mereka sedari pagi berbuah hasil. Ari membuka pagar besi rumah itu. Berdua mereka beriringan menuju pintu yang terbuka lebar. 

Seorang pemuda berdiri tersenyum memandangi Ari dan Lala yang berdiri mematung di depan pintunya. 

"Ada perlu apa kalian berdua?" Suaranya ramah bersahabat. 

"Aku ... Aku Ari. Ini temanku Lela, temanku. Aku sedang mencari rumah ayahku."  Ari menyodorkan foto yang masih dipegangnya. 

"Aku Farhan, sejak kecil tinggal di sini." Pemuda itu mengulurkan tangannya, dan mempersilakan Ari dan Lela duduk di kursi jati ruang tamunya. Seketika suasana hening menyelimuti hati Ari. 

Farhan mengamati saksama foto lusuh di tangannya. Mengusap gambar di dalamnya. Rona wajahnya sedikit murung. Ia menghela napas panjang sembari mengucap pelan, 

"Mengapa kamu baru datang sekarang Ari?".Ayahmu baru sebulan yang lalu wafat, menyusul bu Broto yang lebih dulu wafat

Ia menahan kerinduan berjumpa denganmu dan  ibumu. 

" Aku anak sebatang kara yang diangkat pak Broto sejak kecil. Bu Broto tidak mempunyai anak." Farhan menjelaskan sambil sesekali mengusap peluh di keningnya. 

Pak Broto meninggalkan wasiat untukmu. Separuh hartanya menjadi warisanmu, dan separuh lagi diamanahkan untukku. Aku berencana menjadikannya sebagai Taman Pendidikan Alqur'an. Agar rumah ini bercahaya. 

"Allahu Akbar, warisanku separuh rumah besar ini?," Mata Ari melotot kaget. 

"Aku ikut seperti kamu, bang Farhan. Jadikan saja, rumah ini rumah cahaya. Agar penduduk langit menatap kelap-kelipnya di sini. Di rumah warisan ayahmu. Agar ayahku tersenyum di alam kubur"

Ari menunduk dalam, menahan berbagai rasa. "Selesai sudah pencarianku, Ayah. Semoga Allah menerima amal baikmu." Ari menghapus tetes bening yang mengalir di sudut matanya.

Bionarasi

Asih Drajad Lumintu, Tinggal di Pekanbaru Riau. Mulai menekuni dunia kepenulisan beberapa tahun belakangan. Hasil tulisannya sebagian terdokumentasi di  instagram.com/komunitasceria dan www.mompembelajar.com.

Dari buku Antologi Cerpen Bulan Dan Bintang Fajar (SIP Publishing, Desember 2022


Related Posts

Posting Komentar