Blog Mom Pembelajar

Cerpen: Duka Runi, Duka Mak Lela

Posting Komentar

 DUKA RUNI, DUKA MAK LELA

Oleh: Asih Drajad Lumintu

www.mompembelajar.com

"Duar ... Duar ...." 

Suara guruh diikuti kilat mewarnai laut lepas dekat pulau Kecil. Sejurus angin bertiup kencang. Kapal kayu pompong dari kota seberang baru sepuluh menit lalu menyeberang, menuju Pulau Kecil di depannnya. Pompong yang mengangkut tujuh belas orang pengemudi dan penumpang itu bergoyang-goyang di tengah laut lepas, seperti  ayunan yang dihempas kuat. Hari belum lagi siang, saat perahu pompong kayu itu akhirnya terbalik dan meninggalkan jeritan para penumpangnya. Disusul gelombang angin utara yang meninggalkan hening para penumpang kapal pompong itu terombang-ambing di lautan. 

*

Runi Kejora seorang gadis berkulit sawo matang dengan lesung pipit di pipi kanannya mematut bayangnya di cermin besar kamarnya. Selendang biru polos menutupi rambut lurusnya menambah anggun penampilannya. Sejak tadi, ia bolak-balik mengintip pekarangan rumahnya lewat jendela kamarnya. 

"Ah, mengapa belum juga sampai Bang Alfin" 

Diliriknya gawai di meja kecil kamarnya. 

"Hmm, sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan Bang Alfin, " keluh Runi gusar. 

Panggilan gawainya ke Bang Alfin tak bersambung sejak tadi. 

"Runi  ... Ayo ke sini...'

Tolong bantu Emak susun roti belauk ke meja tamu".

Bergegas Runi membawa roti yang berbentuk setengah lingkaran dengan isi sambal lumat abon ikan pedas dalam wadah kaca. Lalu menyusunnya dalam piring yang lebih besar dan diletakkan di meja kayu ruang tamunya. Ia melangkah ke arah pintu depan rumahnya dan membuka pintu yang ditutup emaknya sejak mendung datang. 

"AllahuAkbar ...," jeritnya tertahan. 

Langit hitam bergulung di sebelah selatan menciutkan hatinya. 

Angin besar sejak tadi memang berulang telah menghantam pintu rumahnya, hingga Mak Lela, Emak Runi menutup saja pintu depan rumahnya. Mak Lela masih sibuk berbenah membereskan piring-piring kotor sembari menunggu calon besannya datang.

Runi menutup kembali pintu depan rumah, lalu mengangkat tangan, 

"Ya Allah semoga bang Alfin cepat sampai ...," bisiknya cemas. 

Cuaca ekstrem sering dialami penghuni Pulau Kecil, tempat Runi tinggal. Langit cerah tak jarang sekonyong-konyong menjadi pekat kelabu, diiringi petir yang menyambar. Jika datang  kondisi cuaca buruk, angin akan bertiup kencang. Sayangnya tidak semua kapal pompong di sana menyediakan pelampung (life jacket) untuk keselamatan penumpangnya, jika sewaktu-waktu terjadi musibah. 

Runi melamun. Janji Bang Alfin beberapa bulan lalu terngiang lagi di telinga Runi. 

"Abang  akan datang bersama Mama, Papa dan keluarga besar sekitar dua pekan lagi. Tak usah Runi dan Emak repot membuat aneka sajian menyambut kami ya," suara bariton Alfin di ujung gawai. 

Alfin tahu pasti kondisi Runi, calon istrinya yang yatim semenjak kecil. Emaknya yang membiayai sekolah selama ini. 

Runi melonjak gembira, tak menyangka secepat itu Alfin, teman sekelas semasa SMA-nya serius meminangnya. Dulu Runi dan Alfin sama-sama memilih Kesenian, sebagai kegiatan ekstrakurikuler sekolahnya. Mereka berdua menyukai puisi, pujangga Melayu.

Runi hafal bagaimana Alfin melafalkan semua bait gurindam dua belas, Raja Ali Haji yang kesohor itu. Penggalan bait favorit yang Runi tunggu adalah, saat Alfin melantun bagian pasal lima. Pandangan mata Alfin, seolah menembus ke lubuk hatinya. Tanpa sadar Runi mengulangnya.

"Cahari olehmu akan sahabat,

yang boleh dijadikan obat.

Cahari olehmu akan guru,

yang boleh tahukan tiap seteru.

Cahari olehmu akan istri, 

yang boleh dimenyerahkan diri.

Cahari olehmu akan kawan,

pilih segala orang yang setiawan.

Cahari olehmu akan abdi,

yang ada baik sedikit budi"

Selepas SMA, Runi dan Alfin jarang bertemu lantaran terpisah kota. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Sampai suatu kesempatan mereka berjumpa di pesta pernikahan teman SMA dulu. Mereka saling bertukar cerita. Alfin kini bekerja di perusahan swasta di kota, sedang Runi membantu Emak berjualan nasi di Pulau Kecil itu.

Sejak semalam emak sudah mempersiapkan segala jamuan khas yang akan dihidang kepada calon besannya. Meskipun Alfin, calon menantunya berpesan lewat Runi agar Mak Lela tak usah repot ketika menyambut keluarga besarnya.

Emak tak bisa menyembunyikan riang hatinya saat mendengar ada lelaki yang hendak datang ke rumahnya melamar anaknya. Ia pun tergopoh-gopoh menyiapkan panganan menyambut tamu istimewanya yang mendadak ini. Ia berharap pertemuan silaturahmi pertama dengan keluarga Alfin membawa kebaikan. Namun, sesekali dada Mak Lela bergemuruh tanya, 

“Apakah Alfin yang dimaksud adalah anak Gunarto, seorang saudagar kaya itu? Ah, mungkin bukan ..."

Kemarin Runi hanya menyebut nama Pak Gun, sebagai ayah Alfin. Mak Lela menyapu keringat di keningnya, seakan menyapu bayangan kelam yang mengganggunya. Wajah Runi tak lagi ceria. Senyumnya mulai hambar. Kecemasan melanda dirinya, setelah satu jam menunggu janji Alfin. Emak berulang kali menenangkan Runi agar sabar menunggu. 

"Mungkin keluarga Alfin masih di perjalanan, Nak ..."

"Ah, Emak. Tadi bang Alfin bilang, sudah di kapal pompong menuju pulau, Mak." desah Runi pelan

Air bening mulai menggenang di sudut mata Runi. Ia tahu pasti, hanya butuh waktu 25 menit paling lama  melaju dengan pompong untuk sampai ke pulau. 

Saat kabar duka itu datang, Runi jatuh pingsan dan lama tidak sadarkan diri. 

"Innalillahi wa inna ilahi roojiuun ... Lima belas orang ditemukan tewas. Sedangkan dua penumpang lainnya belum ditemukan ketika kapal pompong diterjang badai laut angin utara."

Peristiwa naas ini menjadi berita hangat perbincangan warga Pulau Kecil saat itu. Sampai beberapa hari, team SAR belum berhasil menemukan seorang lagi jasad penumpang perahu pompong itu. 

*

Angin laut tatkala sepenggalah matahari naik semakin berhembus kencang. Runi menatap tajam riak gelombang di dermaga. Merapikan selendang hitam yang menutupi rambutnya yang sesekali keluar tersapu angin. Ia tergelak, hingga tampak deretan gigi kelincinya yang menambah manis tawanya. Pandangannya terus mengamati riak gelombang yang naik turun dari tepi dermaga. Angin Utara selalu menyisakan kenangan yang menghangat di pelupuk matanya. Demikian rutinitas Runi menjelang siang hari, sejak lima tahun peristiwa badai yang menenggelamkan kapal pompong Bang Alfin dan keluarganya. Mata Runi tak bosan, memandang laut yang memisahkan Pulau Kecil dengan kota di depannya. 

"Bang Alfin masih hidup. Bukankah ada seorang penumpang yang belum jelas kabarnya, dan itu adalah bang Alfin." Runi semringah senang. Namun, tak lama air mukanya berubah dratis dan ia mulai menjerit sambil sesekali tersenyum. 

"Aku masih menunggumu si sini, bang Alfin." Suaranya melolong parau membuat sedih Mak Lela. 

Sebaliknya anak-anak yang bermain dan berkejaran di tepi dermaga, malah menjadikan Runi tontonan dan hiburan. Beramai-ramai mereka mentertawakan dan menyoraki Runi. 

"Wah kambuh lagi kak Runi.. "

Sesekali terdengar panggilan, 

"Orang gila, awas ada, orang gila ...! "

Menyaksikan itu semua, Runi malah tertawa dan mengejar mereka yang mentertawakan. Lalu  seketika anak-anak itu berpencar, lari ketakutan. 

Anak-anak di pulau itu sebagaimana Runi kecil, mesti bolak-balik naik perahu kayu pompong dari pulau tempat tinggalnya ke kota seberang, jika ingin melanjutkan sekolah. Meskipun jarak yang ditempuh hanya sekitar dua puluh menit, tetapi tetap saja penumpang harus datang tepat waktu, kalau tak mau ketinggalan perahu pompong itu di pagi hari. 

Runi mengigit bibirnya, mengenang masa remajanya. Bayangan lelaki berambut ikal berulang muncul di hadapannya. Alfin, adalah teman sekelasnya yang tinggal di kota. Ia selalu datang lebih awal ke sekolah dan kerap membantu kesulitan Runi dalam pelajaran Matematika. Usia Alfin terpaut tiga tahun lebih tua dari Runi. Semasa kecil Alfin terlambat daftar sekolah. Entah mengapa, Runi merasa klop dengan Alfin. Runi merasa Alfin seperti abang yang melindunginya. 

Pipi Runi memerah, mengingat Alfin mengantarnya ke pelabuhan setelah perpisahan sekolah dulu. Bayangan siluet kenangan hilir-mudik mengacaukan pikiran Runi. Ia menghela napas panjang, mengamati dermaga. Anak-anak kembali mengolok-olok namanya dengan sebutan, 

"Orang gila  .... Runi orang gila..." 

Sorak-sorai itu biasanya  terhenti begitu terdengar azan  Asar berkumandang. Anak-anak bergegas menuju masjid Pulau Kecil itu. Seperti biasa, Mak Lela buru-buru menggamit tangan Runi menjauh dari teriakan anak-anak menuju rumahnya yang berjarak tiga ratus meter dari dermaga. 

Mak Lela menatap beberapa pompong yang merapat di dermaga. Matanya menyusuri barisan petuah yang tertulis di papan yang menghiasi dermaga. 

"Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama. "

Mak Lela penduduk asli Pulau Kecil itu. Tepat di samping gerbang gapura pulau, ia membuka warung dan menjual aneka sajian sarapan. Para penumpang kerap singgah di warungnya sebelum berangkat atau setelah turun kapal pompong. 

Guratan keletihan mulai menghiasi wajah tuanya. Ia mengatur napasnya yang tersengal. Memori masa mudanya silih berganti menari di ingatannya. 

"Ah, ternyata Papa Alfin adalah Mas Gunarto, suami pertamaku ..."  Suaranya tercekat lirih. Ia membongkar sisa kenangan yang telah lama dikubur di hatinya. 

Matanya nyalang  mengenang lelaki paruh baya yang pernah menikahinya dulu, sebelum Ayah Runi. Setelah bayi lelaki pertamanya lahir, Mak Lela terpaksa bercerai dengan Mas Gunarto. Mak Lela merasa tertipu, karena suaminya mengaku duda. Namun, ternyata ia masih memiliki istri sah yang mandul dan belum mempunyai anak di usia sepuluh tahun perkawinannya. Lalu Mas Gun memohon kepada Mak Lela agar anak yang di kandungnya  menjadi bagian hak asuhnya setelah percerain itu. Anak itu adalah  Alfin. Di tengah gejolak gundahnya sebagai seorang janda selepas melahirkan, Mak Lela menerima tawaran itu. Ia bahkan berjanji tidak akan mengusik ketenangan keluarga mantan suaminya. 

Mak Lela tersenyum pahit, sembari menyisirkan rambut panjang Runi di kamarnya. Menghapus peluh dan air mata yang membasahi pipi anaknya. 

"Aku telah menepati janji. Tak akan kuusik ketenangan keluargamu, Mas Gun ..."

Dipasangkan selendang biru muda kesukaan Runi  menutupi rambut hitam Runi. 

"Sabar Runi, kelak kamu akan berjumpa abang tirimu, Bang Alfin, tetapi bukan di sini ... " sendu Mak Lela

Pekanbaru, 2 Oktober 2022

*

Dari buku Antologi Cerpen : Aku Tidak Gila(KBB-KMO Indonesia, 2022) 

Related Posts

Posting Komentar